TASAWUF (SUFISME) DAN RELEVANSINYA TERHADAP KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

by 5/23/2016 08:54:00 AM 0 komentar

Oleh : Lailis Sa’adah  – Fisika – 13620012
                
Tasawuf merupakan salah satu cabang dari disiplin ilmu dalam islam yang lebih mengedepankan konsep spiritual islam dalam segala aspeknya. Dalam aspek yang berkaitan dengan manusia, tasawuf lebih mengedepankan aspek rohani daripada jasmani. Dalam aspek kehidupan, tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana. Dalam kaitannya dengan pemahaman agama, tasawuf lebih mengutamakan esoteris (khusus, rahasia) daripada eksoterik (umum), yakni mengutamakan penafsiran batiniah daripada lahiriyah[1]. Hal tersebut dikarenakan para pelaku tasawuf, yang kemudian disebut sebagi sufi, secara ontololgis mempercayai bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan nyata daripada dunia jasmani. Bahkan sebab karena Allah juga bersifat spiritual. Oleh sebab itu, realitas yang sesungguhnya juga bersifat spiritual, bukan seperti yang dikemukakan oleh para kaum materialistis bahwa yang nyata adalah bersifat material[2].
Tasawuf, atau yang disebut juga sufisme mempelajari bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Dalam melaksanakan ajaran tasawuf, seorang sufi akan menjalani sulûk, yang artinya perjalanan spiritual. Sedangkan orangnya disebut sebagai sâlik.  Sufisme dicirikan sebagai pengalaman dalam merasakan kehadiran Tuhan di dalam diri seorang sâlik, dan juga keinginan untuk pengetahuan langsung dari-Nya. Pengetahuan yang bersifat transenden tersebut akan dicapainya melalui pengalaman diri dalam penyerahan diri serta pemurnian jiwa yang dilakukan secara terus menerus[3].
Sufisme pada awalnya identik dengan zuhud, yaitu menjauhkan diri dari segala hal yang bersifat duniawi. Secara prinsip tidak ada seorang pun yang menyangkal mengenai konsep tasawuf dalam islam. Sebab, disiplin ilmu tasawuf telah terbukti dapat mendidik spiritualitas manusia, sehingga dapat memberikan ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Oleh karena itu beberapa sarjana muslim menegaskan bahwa ilmu tasawuf merupakan salah satu aspek penting ajaran islam[4].
            Namun dewasa ini, ketika istilah tasawuf dihadapkan dengan era modern yang penuh dengan teknologi canggih, seakan-akan dua hal tersebut merupakan sesuatu yang kontradiktif satu sama lainnya. Sebab istilah sufisme dianggap sebagai sesuatu yang identik dengan keterbelakangan, sikap pasif, dan irasionalitas. Istilah modern dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti terbaru; mutakhir, sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman[5]. Modernisasi merupakan suatu proses transformasi, suatu perubahan pola kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya dari yang semula tradisional ke arah pola – pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara – negara Barat yang stabil[6]. Abad modern di Barat merupakan suatu masa ketika manusia merasa bebas terhadap dirinya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang independen dari  segala aturan Tuhan dan alam. Manusia dapat menemukan solusi dari setiap persoalan yang dihadapinya. Akibatnya manusia menjadi terlepas dari nilai spiritualnya[7].
Tantangan umat muslim di era modern ini adalah menurunnya popularitas sufisme. Tasawuf dirasa sebagai suatu hal yang asing bagi sebagian besar orang, bahkan termasuk di kalangan umat islam sendiri. Adanya pengaruh budaya Barat yang menyerang kaum muslim tampaknya telah memancing umat islam sendiri untuk mempertanyakan mengenai eksistensi dari tasawuf. Sebab belakangan ini, bermunculan anggapan bahwa tasawuf merupakan tradisi non-Islam, lebih parahnya lagi dikatakan sebagai ‘ajaran sesat’. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia lebih berfikir rasional serta materialistis. “Metode ilmiah” menjadi ciri khas dari  dunia modern. Hal tersebut memunculkan paradigma bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris menggunakan panca indra dan pendekatan rasional. Dengan begitu, sesuatu yang di luar hal tersebut, seolah – olah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran[8].
Jika permasalahan tersebut masih terus mengakar kuat di benak masyarakat, maka bisa diprediksi bahwa tradisi tasawuf akan lenyap. Beberapa pengamat menyatakan bahwa sufisme akan menghilang dan pudar seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi. nuansa keislaman akan dikuasai oleh para ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan lama hingga sisa – sisanya masih terasa sampai saat ini[9].  Para guru sufi menyikapi modernitas ini dengan jalan menghidupkan kembali warisan tradisi islam yang berfokus pada sesuatu yang menjadi akar penyebab mundurnya umat islam, yaitu melupakan Allah. Sebab umat islam saat ini banyak tersita perhatiannya kepada aspek materi dan kekuasaan daripada mengingat Allah.
 Modernitas dengan rasionalisme dan positivismenya telah menjauhkan manusia dari Tuhan. Namun, sejatinya sifat dasar manusia adalah membutuhkan suatu dzat yang berasal dari selain dirinya, dengan kata lain manusia membutuhkan Tuhan. Sehingga meskipun sufisme mendapat banyak tekanan dari berbagai pihak, ajaran ini tetap diminati oleh sebagian kalangan. Ajaran sufisme yang menekankan diri pada spiritualitas dianggap sebagai alternatif Islam yang menarik sebab ajaran spiritual, pluralisme, dan toleransi yang terkandung di dalamnya[10]. John Naisbitt dan Aburdenne menyatakan bahwa adanya perhatian yang signifikan terhadap agama dan spiritualitas di Barat, dikarenakan sains dan teknologi modern tidak memberikan makna mengenai kehidupan. Sehingga pada zaman modern ini muncul istilah ­turning to the east[11] ( kembali ke timur ) sebagai pertanda bahwa agama akan bangkit kembali. Salah satu hal yang dipandang oleh sebagian orang mengenai kekurangan dari psikologi Barat jika dibandingkan dengan psikologi Timur adalah bahwa Barat telah mengabaikan aspirasi – aspirasi rohani atau kehidupan yang bernilai religius pada manusia[12]. Sehingga akhir – akhir ini banyak orang Barat yang pergi ke India, Tibet, Sri Lanka, Jepang, dan China untuk mempelajari tradisi spiritual Timur yang lebih banyak menegaskan tentang makna kehidupan. Dengan demikian modernitas dinilai telah gagal memberikan kebahagiaan kepada manusia dan manusia mulai mengalihkan perhatiannya ke dunia spiritual. Menurut Abd Al-Halîm Mahmûd, kegagalan positivisme tersebut adalah
Kegagalan pengetahuan dan teknologi dalam mennyelesaikan persoalan manusia saat ini bukan berarti sains dan teknologi tidak mampu dalam mengatasi problematika kemanusiaan. Namun pendekatan yang digunakan dalam sains dan teknologi tidak dapat menjangkau permasalahan tersebut. Sehingga di sini hadirlah psikologi transpersonal atau yang disebut juga dengan psikologi spiritual yang diharapkan mampu menjembatani antara rasionalitas ilmu pengetahuan dengan pengalaman spiritual manusia[13]. Jembatan tersebut salah satunya dapat berupa tradisi tasawuf. Dalam tasawuf banyak karakter – karakter keluruhuran yang seharusnya dimiliki oleh seorang manusia. Antara lain adalah maqâmât, ahwâl, ittihâd, wahdat al-wujûd, dan lain - lain. Karakter – karakter tersebut menggambarkan sifat dari seorang sufi. Seperti yang kita ketahui, bahwa dimensi Ketuhanan merupakan sumber kekuatan manusia. Oleh karena itu jika sesorang dengan konsisten mendekatkan diri kepada Tuhannya, dia akan meraih kesempurnaan yang dia  cita – citakan.
   Berbiacara mengenai modernitas, Abd Al-Halîm Mahmûd membagi peradaban modern menjadi dua kelompok besar, yakni yang pertama adalah dunia material (fisik) dan kebudayaan (metafisik)[14]. Untuk dimensi material, Mahmûd menjelaskan bahwa peradaban modern dibangun dari dua metode, yaitu metode cartesian (filosofis) dan metode Baconian (observasi).  Metode cartesian sesuai untuk ilmu rasional murni, seperti matematika dan filsafat. Sedangkan metode Baconian memiliki bidang kajian berupa alam fisik, yakni pengamatan terhadap fenomena alam serta mekanisme kerjanya, seperti logam, hewan, tumbuhan, astronomi, dan sebagianya[15]. Dengan kata lain penggunaan metode Baconian ini bertujuan untuk menyingkap hukum – hukum alam semesta ini. Karena sesungguhnya alam semesta ini merupakan manifestasi dari perwujudan Allah, melalui ciptaan – ciptaanNya. Di dalamnya terkandung ayat – ayat kauniyah yang seharusnya oleh umat muslim direnungkan sebagai jalan untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT.  Seperti yang dijelaskan melalui kalam Allah dalam Alquran Surah  Ali Imran ayat 190-191 yang berbunyi :
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ﴿ە۱۹﴾ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًۭا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ﴿۱۹۱
Artinya : “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”
(QS Ali Imran[3] : 190-191).
Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang eksistansi ulul albab. Ulul Albab merupakan orang – orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang benar, mereka membuka pandangannya untuk menerima ayat – ayat Allah pada alam semesta, tidak memasang penghalang – penghalang dan tidak menutup jendela – jendela antara mereka dengan ayat – ayat kauniyah ini[16]. Dari perenungan terhadap fenomena – fenomena alam tersebut, kemudian dibuktikan dengan menggunaan metode Bacon seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebab metode Bacon merupakan metode yang islami. Mahmûd menyebutnya sebagai metode ­al-sam’ wa al-bașar[17], berdasarkan pada ayat Alquran Surah Al-Isra ayat 36 :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artunya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS Al-Isra[17] : 36).
Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu materialis modern, dalam hal ini seperti fisika, kimia, matematika, dan sebagainya, merupakan salah satu dari pondasi islam. Dan ilmu tersebut juga menjadi ciri khas dari seorang muslim. Bahkan banyak ilmuwan muslim pada masa lalu yang sampai saat ini karyanya masih berpengaruh bagi dunia saintis. Seperti buku Hisab al Jabar wa al Muqabalah ( Perhitungan Penggabungan dan Persamaan) karya Al Khawarizmi, Qanun fi al Tibb (Peraturan tentang Pengobatan) karya Ibnu Sina, Al Hawi (Buku Komprehensif) karya Ar-Razi[18]. Prestasi gemilang dari para ilmuwan muslim tersebut merupakan implementasi dari perintah Allah yang menyuruh umat Muslim untuk menyingkap sunan Allah al-kawniyah. Akan tetapi, kedudukan ilmu tersebut masih separuh perjalanan. Separuh berikutnya dilanjutkan dengan tafsiyah (Penyucian diri) yang merupakan jalan para sufi, yakni dengan jalan melakukan tasawuf.
Dalam pembahasan mengenai modernitas ini, Mahmûd memiliki dua pandangan terhadap dunia material dan kebudayaan. Pertama, Mahmûd berpendapat bahwa aspek kebudayaan dalam islam tidak dapat dimodernisai.  Sebab, setiap perilaku yang bertujuan untuk memodernisasi budaya islam, dikhawatirkan akan mereduksi esensi dari islam. Kedua, Mahmûd memberikan dukungan postif terhadap upaya modernisasi pada dimensi fiskal modernitas. Sebab kemajuan ilmu pengetahuan yang ada hingga saat ini tidak terlepas dari metode Cartesian – Baconian yang melandasi temuan – temuan ilmiah tersebut.
Sejatinya antara sufisme dengan modernitas memiliki relasi komplementer, dimana keduanya merupakan entitas yang bergerak pada ranah yang berbeda, namun saling melengkapi satu sama lain. Dalam perjalanan tersebut seorang sufi tetap harus menjadikan Alquran dan As sunah sebagai pedoman utama. Sebab kedua sumber tersebut merupakan jalan untuk mencapai kesempurnaan rohani, suatu keadaan yang tidak bisa ditempuh manusia atas usahanya sendiri, melainkan harus disertai dengan peyerahan kepada Allah SWT.
Dewasa ini dengan semakin berkembangnya cara pandang  manusia modern mengenai agama, kemudian memunculkan bentuk – bentuk perumusan baru mengenai pandangan keagamaan dalam menanggapi situasi sosial dari masyarakat modern tersebut.  Termasuk salah satunya para cara pandang terhadap tasawuf. Dalam tiga dekade terakhir ini tasawuf telah menjadi tren positif di berbagai kalangan. Di dunia akademisi, banyak riset – riset yang mengkaji tentang tasawuf sehingga menghasilkan karya – karya ilmiah yang sangat bagus[19].  Bahkan di beberapa perguruan tinggi di dunia menjadikan tasawuf sebagai mata kuliah di kurikulum mereka.
Sejalan dengan hal tersebut, muncullah gagasan – gagasan mengenai tasawuf yang relevan dengan zaman modern ini. Di  negara Indonesia contohnya, muncul sebuah gagasan tasawuf transformatif oleh Muhammad Zuhri, dimana metode tersebut merupakan solusi dari permaslahan yang terjadi di masyarakat modern[20]. Kondisi masyarakat modern saat ini dinilai gagal dalam memaknai kehidpan, oleh karena itu Zuhri mencoba untuk menyeimbangkan antara kehidupan duniawi, dalam hal ini kehidupan modern, dengan kehidupan ukhrawi dengan jalan bertasawuf yaitu tetap melakukan pemaknaan kembali dimensi internal manusia yang memungkinkan menjadikan seseorang sufi dengan sikap zuhd  yang sekaligus berdampak kepada sosial. Seperti contohnya adalah fenomena haqîqah. Pemahaman terhadap haqîqah dilakukan dari berbagai berspektif kemudian ditarik ke konteks sosial. Jika ibadah merupakan hubungan haqîqah kepada Allah, maka manifestasinya adalah hubungan kepada masyarakat, kepada makhluk-Nya.
Oleh karena itu tasawuf transformatif yang digagaskan oleh Zuhri memiliki lima karakteristik, yaitu : (1) memiliki visi keilahian; (2) sinergisitas antara akal dan wahyu; (3) dunia dalam eskatologi islam; (4) al-akhlâq al-karîmah; (5) amal saleh yang berdimensi sosial[21]. Visi keahlian diwujudkan dengan jalan ma’rifât Allâh. Dengan mengenal Allah makan manusia akan menemukan cara pandang yang benar terhadap kehidupan. Manusia akan selalu bersikap lapang dan bersyukur atas segala kondisi yang menimpa dirinya, baik itu berupa nikmat ataupun musibah.
Dunia dalam eskatologi islam (tasawuf) yang dimaksud di sini adalah dunia ini sebagai medan manusia untuk melakukan misi kekhalifahannya di bumi ini, namun dengan tetap menyeimbangkan antara kehidupan dunia serta akhiratnya. Manusia telah dikaruniai dua macam potensi, yakni potensi materialitas yang cenderung ke duniawian serta potensi spiritualitas  yang cenderung ke akhirat.  Sikpa pandang yang positif dalam menyikapi dunia modern ini adalah memandang duniawi melalui kacamata spiritualitas, sperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: “orang yang cerdas adalah orang yang mampu menahan nafsu, dan beramal dengan orientasi kehidupan setelah kematian (keakhiratan)[22].    
Kemudian al-akhlâq al-karîmah serta amal shalih yang diharapkan dapat menangani ketimpangan sosial di masyarakat, mengajak manusia untuk berpikir ulang mengenai makna kehadirannya di dunia ini. Agar manusia menyadari bahwa ia tidak sendiri, masih ada makhluk lain ciptaan Allah, baik itu manusia, hewan, tumbuhan. Dengan begitu manusia akan lebih bersyukur dengan cara memanfaatkan potensi yang ada di alam in dengan sebaik mungkin.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tasawuf sangat penting dilaksanakan bagi manusia. Sebab tasaeuf memiliki titik relevansi  untuk kehidupan manusia, yaitu ketika ajaran pada tasawuf yang di dalamnya menekankan pada konsep ketauhidan dalam mengenal Allah, maka kemudian akan berdampak pada kesadaran diri manusia mengenai posisinya terhadap kehidupan sosial masyarakat, terhadap alam semesta ini.


[1] Mulyadi Kartanegara,Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga , Jakarta, 2006, hal.2
[2] Ibid, hal.3
[3] Ahmad Muhammad, Relasi Sufisme dengan Modernitas dalam Perspektif ‘Abd Al-Halîm Mahmûd.Teosofi:jurnal tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 4 nomor 1, juni 2014, halaman 89
[4] Fikri Mahzumi, Prinsip Dan Ajaran Tasawuf ‘Abd Allâh Al-Haddâd : jurnal tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 2 nomor 1, juni 2012, halaman 2
[5] http://kbbi.web.id/modern (diaskes pada 10 April 2016)
[6] web.unair.ac.id/admin/file/f_20025_3h.ppt (diaskes pada 10 April 2016)

[7] Rahmad Yulianto, Tasawuf transformatif sebagai solusi problematika manusia modern dalam perspektif pemikiran tasawuf muhammad zuhri : jurnal tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 4 nomor 1, juni 2014, halaman 57

[8] Ahmad Muhammad, Loc.Cit, halaman 90
[9] Van Bruinessen dan Howell (eds).Sufism and the ‘Modern’ in Islam.2007.London : I.B. Tauris & Co Ltd, hal.vii
[10] Ahmad Muhammad, Loc.Cit., hal.93
[11] Ibid, halaman 94
[12] Wardalisa.Pengantar Pendekatan Psikologi Timur. Jurusan Psikologi.Fakultas psikologi Universitas Gunadarma, hal.3
[13]Khadijah, Titik Temu Transpersonal Psychology dan Tasawuf. :jurnal tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 4 nomor 2, Desember 2014, hal.383
[14] Ahmad Muhammad, Loc.Cit., hal.97
[15] Ibid
[16] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 2, Sayid Quthb, halaman 245
[17] Ahmad Muhammad, Lock-in amplifier.Cit.,hal.98
[18] Muhammad Razi, 50 Ilmuwan Muslim Populer, Qultum Media, 2005
[19] Rahmad Yulianto, Loc.Cit.,hal.57
[20] Ibid, hal.58
[21] Ibid, hlm 80
[22] Zuhri, Hidup Lebih Bermakna,90-91.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Post a Comment