Oleh : Lailis
Sa’adah – Fisika – 13620012
Tasawuf
merupakan salah satu cabang dari disiplin ilmu dalam islam yang lebih
mengedepankan konsep spiritual islam dalam segala aspeknya. Dalam aspek yang
berkaitan dengan manusia, tasawuf lebih mengedepankan aspek rohani daripada
jasmani. Dalam aspek kehidupan, tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat
daripada kehidupan dunia yang fana. Dalam kaitannya dengan pemahaman agama, tasawuf
lebih mengutamakan esoteris (khusus, rahasia) daripada eksoterik (umum), yakni
mengutamakan penafsiran batiniah daripada lahiriyah[1].
Hal tersebut dikarenakan para pelaku tasawuf, yang kemudian disebut sebagi
sufi, secara ontololgis mempercayai bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan
nyata daripada dunia jasmani. Bahkan sebab karena Allah juga bersifat
spiritual. Oleh sebab itu, realitas yang sesungguhnya juga bersifat spiritual,
bukan seperti yang dikemukakan oleh para kaum materialistis bahwa yang nyata
adalah bersifat material[2].
Tasawuf,
atau yang disebut juga sufisme mempelajari bagaimana cara menyucikan
jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk
memperoleh kebahagian yang abadi. Dalam melaksanakan ajaran tasawuf, seorang
sufi akan menjalani sulûk, yang artinya perjalanan
spiritual. Sedangkan orangnya disebut sebagai sâlik.
Sufisme dicirikan sebagai
pengalaman dalam merasakan kehadiran Tuhan di dalam diri seorang sâlik,
dan juga keinginan untuk pengetahuan langsung dari-Nya. Pengetahuan yang
bersifat transenden tersebut akan dicapainya melalui pengalaman diri dalam
penyerahan diri serta pemurnian jiwa yang dilakukan secara terus menerus[3].
Sufisme pada awalnya identik dengan zuhud, yaitu
menjauhkan diri dari segala hal yang bersifat duniawi. Secara prinsip tidak ada
seorang pun yang menyangkal mengenai konsep tasawuf dalam islam. Sebab,
disiplin ilmu tasawuf telah terbukti dapat mendidik spiritualitas manusia,
sehingga dapat memberikan ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Oleh
karena itu beberapa sarjana muslim menegaskan bahwa ilmu tasawuf merupakan
salah satu aspek penting ajaran islam[4].
Namun dewasa ini, ketika istilah tasawuf dihadapkan
dengan era modern yang penuh dengan teknologi canggih, seakan-akan dua hal tersebut
merupakan sesuatu yang kontradiktif satu sama lainnya. Sebab istilah sufisme
dianggap sebagai sesuatu yang identik dengan keterbelakangan, sikap pasif, dan
irasionalitas. Istilah modern dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
terbaru; mutakhir, sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai
dengan tuntutan zaman[5]. Modernisasi merupakan
suatu proses transformasi, suatu perubahan pola kehidupan masyarakat dalam
segala aspeknya dari yang semula tradisional ke arah pola – pola ekonomis dan
politis yang menjadi ciri negara – negara Barat yang stabil[6]. Abad modern di Barat
merupakan suatu masa ketika manusia merasa bebas terhadap dirinya. Manusia
dipandang sebagai makhluk yang independen dari
segala aturan Tuhan dan alam. Manusia dapat menemukan solusi dari setiap
persoalan yang dihadapinya. Akibatnya manusia menjadi terlepas dari nilai
spiritualnya[7].
Tantangan umat muslim di era modern ini adalah menurunnya
popularitas sufisme. Tasawuf dirasa sebagai suatu hal yang asing bagi sebagian
besar orang, bahkan termasuk di kalangan umat islam sendiri. Adanya pengaruh
budaya Barat yang menyerang kaum muslim tampaknya telah memancing umat islam
sendiri untuk mempertanyakan mengenai eksistensi dari tasawuf. Sebab belakangan
ini, bermunculan anggapan bahwa tasawuf merupakan tradisi non-Islam, lebih
parahnya lagi dikatakan sebagai ‘ajaran sesat’. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadikan manusia lebih berfikir rasional serta materialistis.
“Metode ilmiah” menjadi ciri khas dari dunia
modern. Hal tersebut memunculkan paradigma bahwa kebenaran merupakan sesuatu
yang dapat dibuktikan secara empiris menggunakan panca indra dan pendekatan
rasional. Dengan begitu, sesuatu yang di luar hal tersebut, seolah – olah tidak
bisa dianggap sebagai kebenaran[8].
Jika permasalahan tersebut masih terus mengakar kuat di benak
masyarakat, maka bisa diprediksi bahwa tradisi tasawuf akan lenyap. Beberapa
pengamat menyatakan bahwa sufisme akan menghilang dan pudar seiring dengan
perubahan sosial dan modernisasi. nuansa keislaman akan dikuasai oleh para
ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan lama
hingga sisa – sisanya masih terasa sampai saat ini[9]. Para guru sufi menyikapi modernitas ini
dengan jalan menghidupkan kembali warisan tradisi islam yang berfokus pada
sesuatu yang menjadi akar penyebab mundurnya umat islam, yaitu melupakan Allah.
Sebab umat islam saat ini banyak tersita perhatiannya kepada aspek materi dan
kekuasaan daripada mengingat Allah.
Modernitas dengan
rasionalisme dan positivismenya telah menjauhkan manusia dari Tuhan. Namun,
sejatinya sifat dasar manusia adalah membutuhkan suatu dzat yang berasal dari
selain dirinya, dengan kata lain manusia membutuhkan Tuhan. Sehingga meskipun
sufisme mendapat banyak tekanan dari berbagai pihak, ajaran ini tetap diminati
oleh sebagian kalangan. Ajaran sufisme yang menekankan diri pada spiritualitas
dianggap sebagai alternatif Islam yang menarik sebab ajaran spiritual,
pluralisme, dan toleransi yang terkandung di dalamnya[10].
John Naisbitt dan Aburdenne menyatakan bahwa adanya perhatian yang signifikan
terhadap agama dan spiritualitas di Barat, dikarenakan sains dan teknologi
modern tidak memberikan makna mengenai kehidupan. Sehingga pada zaman modern
ini muncul istilah turning to the east[11] (
kembali ke timur ) sebagai pertanda bahwa agama akan bangkit kembali. Salah
satu hal yang dipandang oleh sebagian orang mengenai kekurangan dari psikologi
Barat jika dibandingkan dengan psikologi Timur adalah bahwa Barat telah
mengabaikan aspirasi – aspirasi rohani atau kehidupan yang bernilai religius
pada manusia[12]. Sehingga
akhir – akhir ini banyak orang Barat yang pergi ke India, Tibet, Sri Lanka,
Jepang, dan China untuk mempelajari tradisi spiritual Timur yang lebih banyak
menegaskan tentang makna kehidupan. Dengan demikian modernitas dinilai telah
gagal memberikan kebahagiaan kepada manusia dan manusia mulai mengalihkan
perhatiannya ke dunia spiritual. Menurut Abd Al-Halîm
Mahmûd, kegagalan positivisme tersebut adalah
Kegagalan
pengetahuan dan teknologi dalam mennyelesaikan persoalan manusia saat ini bukan
berarti sains dan teknologi tidak mampu dalam mengatasi problematika
kemanusiaan. Namun pendekatan yang digunakan dalam sains dan teknologi tidak
dapat menjangkau permasalahan tersebut. Sehingga di sini hadirlah psikologi
transpersonal atau yang disebut juga dengan psikologi spiritual yang diharapkan
mampu menjembatani antara rasionalitas ilmu pengetahuan dengan pengalaman
spiritual manusia[13].
Jembatan tersebut salah satunya dapat berupa tradisi tasawuf. Dalam tasawuf
banyak karakter – karakter keluruhuran yang seharusnya dimiliki oleh seorang
manusia. Antara lain adalah maqâmât, ahwâl, ittihâd, wahdat al-wujûd, dan
lain - lain. Karakter – karakter tersebut menggambarkan sifat dari seorang
sufi. Seperti yang kita ketahui, bahwa dimensi Ketuhanan merupakan sumber
kekuatan manusia. Oleh karena itu jika sesorang dengan konsisten mendekatkan
diri kepada Tuhannya, dia akan meraih kesempurnaan yang dia cita – citakan.
Berbiacara
mengenai modernitas, Abd Al-Halîm Mahmûd membagi peradaban
modern menjadi dua kelompok besar, yakni yang pertama adalah dunia material
(fisik) dan kebudayaan (metafisik)[14]. Untuk dimensi material,
Mahmûd menjelaskan bahwa peradaban modern dibangun dari dua
metode, yaitu metode cartesian (filosofis) dan metode Baconian
(observasi). Metode cartesian sesuai
untuk ilmu rasional murni, seperti matematika dan filsafat. Sedangkan metode
Baconian memiliki bidang kajian berupa alam fisik, yakni pengamatan terhadap
fenomena alam serta mekanisme kerjanya, seperti logam, hewan, tumbuhan,
astronomi, dan sebagianya[15]. Dengan kata lain
penggunaan metode Baconian ini bertujuan untuk menyingkap hukum – hukum alam
semesta ini. Karena sesungguhnya alam semesta ini merupakan manifestasi dari
perwujudan Allah, melalui ciptaan – ciptaanNya. Di dalamnya terkandung ayat –
ayat kauniyah yang seharusnya oleh umat muslim direnungkan sebagai jalan untuk
meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Seperti yang
dijelaskan melalui kalam Allah dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 190-191 yang berbunyi :
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ
ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ﴿ە۱۹﴾ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًۭا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ﴿۱۹۱﴾
Artinya : “Sesungguhnya,
dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka”
(QS Ali Imran[3] : 190-191).
(QS Ali Imran[3] : 190-191).
Ayat
tersebut di atas menjelaskan tentang eksistansi ulul albab. Ulul Albab
merupakan orang – orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang benar,
mereka membuka pandangannya untuk menerima ayat – ayat Allah pada alam semesta,
tidak memasang penghalang – penghalang dan tidak menutup jendela – jendela
antara mereka dengan ayat – ayat kauniyah ini[16].
Dari perenungan terhadap fenomena – fenomena alam tersebut, kemudian dibuktikan
dengan menggunaan metode Bacon seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebab
metode Bacon merupakan metode yang islami. Mahmûd menyebutnya sebagai
metode al-sam’ wa al-bașar[17],
berdasarkan pada ayat Alquran Surah Al-Isra ayat 36 :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artunya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS Al-Isra[17] : 36).
Jadi
dapat dikatakan bahwa ilmu materialis modern, dalam hal ini seperti fisika,
kimia, matematika, dan sebagainya, merupakan salah satu dari pondasi islam. Dan
ilmu tersebut juga menjadi ciri khas dari seorang muslim. Bahkan banyak ilmuwan
muslim pada masa lalu yang sampai saat ini karyanya masih berpengaruh bagi
dunia saintis. Seperti buku Hisab al Jabar wa al Muqabalah ( Perhitungan
Penggabungan dan Persamaan) karya Al Khawarizmi, Qanun fi al Tibb (Peraturan
tentang Pengobatan) karya Ibnu Sina, Al Hawi (Buku Komprehensif) karya
Ar-Razi[18].
Prestasi gemilang dari para ilmuwan muslim tersebut merupakan implementasi dari
perintah Allah yang menyuruh umat Muslim untuk menyingkap sunan Allah al-kawniyah.
Akan tetapi, kedudukan ilmu tersebut masih separuh perjalanan. Separuh
berikutnya dilanjutkan dengan tafsiyah (Penyucian diri) yang merupakan
jalan para sufi, yakni dengan jalan melakukan tasawuf.
Dalam
pembahasan mengenai modernitas ini, Mahmûd memiliki dua
pandangan terhadap dunia material dan kebudayaan. Pertama, Mahmûd
berpendapat bahwa aspek kebudayaan dalam islam tidak dapat dimodernisai. Sebab, setiap perilaku yang bertujuan untuk
memodernisasi budaya islam, dikhawatirkan akan mereduksi esensi dari islam.
Kedua, Mahmûd memberikan dukungan postif terhadap upaya modernisasi
pada dimensi fiskal modernitas. Sebab kemajuan ilmu pengetahuan yang ada hingga
saat ini tidak terlepas dari metode Cartesian – Baconian yang melandasi temuan
– temuan ilmiah tersebut.
Sejatinya antara sufisme dengan modernitas memiliki relasi komplementer,
dimana keduanya merupakan entitas yang bergerak pada ranah yang berbeda, namun
saling melengkapi satu sama lain. Dalam perjalanan tersebut seorang sufi tetap
harus menjadikan Alquran dan As sunah sebagai pedoman utama. Sebab kedua sumber
tersebut merupakan jalan untuk mencapai kesempurnaan rohani, suatu keadaan yang
tidak bisa ditempuh manusia atas usahanya sendiri, melainkan harus disertai
dengan peyerahan kepada Allah SWT.
Dewasa ini dengan semakin berkembangnya cara pandang manusia modern mengenai agama, kemudian
memunculkan bentuk – bentuk perumusan baru mengenai pandangan keagamaan dalam
menanggapi situasi sosial dari masyarakat modern tersebut. Termasuk salah satunya para cara pandang
terhadap tasawuf. Dalam tiga dekade terakhir ini tasawuf telah menjadi tren
positif di berbagai kalangan. Di dunia akademisi, banyak riset – riset yang
mengkaji tentang tasawuf sehingga menghasilkan karya – karya ilmiah yang sangat
bagus[19]. Bahkan di beberapa perguruan tinggi di dunia
menjadikan tasawuf sebagai mata kuliah di kurikulum mereka.
Sejalan dengan hal tersebut, muncullah gagasan – gagasan
mengenai tasawuf yang relevan dengan zaman modern ini. Di negara Indonesia contohnya, muncul sebuah gagasan
tasawuf transformatif oleh Muhammad Zuhri, dimana metode tersebut merupakan
solusi dari permaslahan yang terjadi di masyarakat modern[20]. Kondisi masyarakat
modern saat ini dinilai gagal dalam memaknai kehidpan, oleh karena itu Zuhri
mencoba untuk menyeimbangkan antara kehidupan duniawi, dalam hal ini kehidupan
modern, dengan kehidupan ukhrawi dengan jalan bertasawuf yaitu tetap melakukan
pemaknaan kembali dimensi internal manusia yang memungkinkan menjadikan
seseorang sufi dengan sikap zuhd yang
sekaligus berdampak kepada sosial. Seperti contohnya adalah fenomena haqîqah.
Pemahaman terhadap haqîqah dilakukan dari berbagai
berspektif kemudian ditarik ke konteks sosial. Jika ibadah merupakan hubungan haqîqah
kepada Allah, maka manifestasinya adalah hubungan kepada masyarakat, kepada
makhluk-Nya.
Oleh karena itu tasawuf transformatif yang digagaskan oleh
Zuhri memiliki lima karakteristik, yaitu : (1) memiliki visi keilahian; (2)
sinergisitas antara akal dan wahyu; (3) dunia dalam eskatologi islam; (4) al-akhlâq
al-karîmah; (5) amal saleh yang berdimensi sosial[21]. Visi keahlian diwujudkan
dengan jalan ma’rifât Allâh. Dengan
mengenal Allah makan manusia akan menemukan cara pandang yang benar terhadap
kehidupan. Manusia akan selalu bersikap lapang dan bersyukur atas segala
kondisi yang menimpa dirinya, baik itu berupa nikmat ataupun musibah.
Dunia dalam eskatologi islam (tasawuf) yang dimaksud di sini
adalah dunia ini sebagai medan manusia untuk melakukan misi kekhalifahannya di
bumi ini, namun dengan tetap menyeimbangkan antara kehidupan dunia serta
akhiratnya. Manusia telah dikaruniai dua macam potensi, yakni potensi materialitas
yang cenderung ke duniawian serta potensi spiritualitas yang cenderung ke akhirat. Sikpa pandang yang positif dalam menyikapi
dunia modern ini adalah memandang duniawi melalui kacamata spiritualitas,
sperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: “orang yang cerdas adalah orang
yang mampu menahan nafsu, dan beramal dengan orientasi kehidupan setelah
kematian (keakhiratan)[22].
Kemudian al-akhlâq al-karîmah
serta amal shalih yang diharapkan dapat menangani ketimpangan sosial di
masyarakat, mengajak manusia untuk berpikir ulang mengenai makna kehadirannya
di dunia ini. Agar manusia menyadari bahwa ia tidak sendiri, masih ada makhluk
lain ciptaan Allah, baik itu manusia, hewan, tumbuhan. Dengan begitu manusia
akan lebih bersyukur dengan cara memanfaatkan potensi yang ada di alam in
dengan sebaik mungkin.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tasawuf sangat penting
dilaksanakan bagi manusia. Sebab tasaeuf memiliki titik relevansi untuk kehidupan manusia, yaitu ketika ajaran
pada tasawuf yang di dalamnya menekankan pada konsep ketauhidan dalam mengenal
Allah, maka kemudian akan berdampak pada kesadaran diri manusia mengenai
posisinya terhadap kehidupan sosial masyarakat, terhadap alam semesta ini.
[1]
Mulyadi Kartanegara,Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga , Jakarta, 2006,
hal.2
[2]
Ibid, hal.3
[3]
Ahmad Muhammad, Relasi Sufisme dengan Modernitas dalam Perspektif ‘Abd Al-Halîm
Mahmûd.Teosofi:jurnal tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 4
nomor 1, juni 2014, halaman 89
[4]
Fikri Mahzumi, Prinsip Dan Ajaran Tasawuf ‘Abd Allâh Al-Haddâd : jurnal
tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 2 nomor 1, juni 2012, halaman 2
[5]
http://kbbi.web.id/modern (diaskes pada 10 April 2016)
[7]
Rahmad Yulianto, Tasawuf transformatif sebagai solusi problematika manusia
modern dalam perspektif pemikiran tasawuf muhammad zuhri :
jurnal tasawuf dan Pemikiran Islam, volume 4 nomor 1, juni 2014, halaman
57
[8]
Ahmad Muhammad, Loc.Cit, halaman 90
[9]
Van Bruinessen dan Howell (eds).Sufism and the ‘Modern’ in Islam.2007.London
: I.B. Tauris & Co Ltd, hal.vii
[10]
Ahmad Muhammad, Loc.Cit., hal.93
[11]
Ibid, halaman 94
[12]
Wardalisa.Pengantar Pendekatan Psikologi Timur. Jurusan Psikologi.Fakultas
psikologi Universitas Gunadarma, hal.3
[13]Khadijah,
Titik Temu Transpersonal Psychology dan Tasawuf. :jurnal tasawuf dan
Pemikiran Islam, volume 4 nomor 2, Desember 2014, hal.383
[14]
Ahmad Muhammad, Loc.Cit., hal.97
[15]
Ibid
[16]
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 2, Sayid Quthb, halaman 245
[17]
Ahmad Muhammad, Lock-in amplifier.Cit.,hal.98
[18]
Muhammad Razi, 50 Ilmuwan Muslim Populer, Qultum Media, 2005
[19]
Rahmad Yulianto, Loc.Cit.,hal.57
[20]
Ibid, hal.58
[21]
Ibid, hlm 80
[22]
Zuhri, Hidup Lebih Bermakna,90-91.